Lampung, – Di tengah perkembangan masyarakat saat ini yang sangat dipengaruhi oleh keterbukaan informasi karena adanya revolusi industri 4.0, permasalahan penegakan hukum seringkali menjadi wacana yang berkembang di tengah masyarakat. “Masyarakat menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia masih dapat dikatakan tidak cukup baik, dan bahkan dirasa tidak adil, dikarenakan masih adanya pelaku kejahatan dan korban kejahatan yang diperlakukan dengan tidak sesuai peraturan yang berlaku, karena masih melihat latar belakang dan kedudukan seseorang.

Masalah hukum di Indonesia khususnya dalam penegakan hukumnya, terjadi karena beberapa hal, mulai dari sistem peradilan, perangkat hukum, Inkosistensi penegakkan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Dari sekian banyak masalah hukum tersebut, satu hal yang sering terlihat dan dirasakan masyarakat awam adalah Inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang berwenang.

Inkonsistensi penegakkan hukum tersebut terkadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekat lainnya. Dan inkonsistensi penegakan hukum tersebut biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, baik dalam peristiwa kecil maupun peristiwa yang besar, sehingga upaya dalam menjamin kepastian hukum tidak tercapai.

Masyarakat Indonesia telah terbiasa melihat dan merasakan bagaimana hukum yang diterapkan jauh berbeda atau bahkan tidak sesuai dengan panduan hukum yang tertulis di negara kita. Tidak jarang masyarakat Indonesia sendiri yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum tersebut.

Salah satu jenis tindak pidana yang marak terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah perkara kecelakaan lalu lintas yang sering menjadi pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat dan menimbulkan kerugian baik materiil maupun korban manusia, sehingga perkara kecelakaan lalu lintas menjadi suatu permasalahan bangsa Indonesia.

Walaupun menurut data kecelakaan lalu lintas selama tiga tahun terakhir mengalami penurunan dikarenakan adanya pandemi Covid-19, dimana terdapat pembatasan-pembatasan, namun kecelakaan lalu lintas masih sering terjadi.

Pada tahun 2019 terjadi 120.980 kecelakaan lalu lintas dan yang diselesaikan dengan Restorative Justice sebanyak 5.158 kasus, pada tahun 2020 terjadi 101.320 kecelakaan lalu lintas dan yang diselesaikan dengan Restorative Justice sebanyak 9.066 kasus, sedangkan pada tahun 2021 sampai dengan bulan Juli terjadi 54.999 kecelakaan lalu lintas dan yang diselesaikan dengan Restorative Justice sebanyak 6.269 kasus. Upaya dalam penyelesaian tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tidak hanya melalui upaya penegakan hukum, namun melalui pendekatan keadilan restoratif yang berbeda dengan sistem peradilan pidana konvensional, di mana pendekatan ini menitikberatkan partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Keadilan restoratif, menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif, tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana, namun dalam proses pencarian keadilan yang terjadi atas suatu perkara pidana melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut” (Purba, 2017:55).

Restorative Justice ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dianggap dalam memenuhi tuntutan tersebut. Restorative Justice merupakan konsep yang akan diaplikasikan melalui proses nyata. Sehingga untuk dapat kepastian dengan proses pendekatan restoratif. Pertama, sanksi pidana yang tidak hanya sebagai unsur pembalasan bagi pelaku tindak pidana. Kedua, pidana itu juga harus memuat unsur pencegahan, rehabilitasi, usaha yang ditunjukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan stigma negatif yang timbul pada diri pelaku.

Ketiga, membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah pada umumnya mendukung penerapan Restorative Justice.

Pendekatan Restorative Justice diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagi model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menanggani perkara-perkara pidana saat ini.

Pendekatan Restorative Justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpastian atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini, karena Hak restitusi tersebut merupakan bentuk penghargaan dan rasa keadilan bagi korban”.

Persoalan yang dihadapi dalam menguatkan restorative justice adalah terkait dengan: 1) Bagaimana substansi hukum pada penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum?; 2) Bagaimana struktur hukum pengemban tugas penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum?; 3) Bagaimana budaya hukum masyarakat terhadap penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum?
Kondisi faktual adalah kondisi yang menggambarkan penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum dalam rangka memelihara stabilitas keamanan dalam negeri saat ini. Munculnya gagasan “Restorative Justice” adalah manifestasi kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan penghukuman yang dianggap tidak efektif menyelesaikan berbagai bentuk konflik sosial.

Pengadilan yang diharapkan dapat menerapkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam praktiknya saat ini dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum, dan dianggap terlampau formalitik dan terlampau teknis, terlebih lagi adanya “mafia peradilan” yang seakan akan mengindikasikan keputusan hakim dapat dibeli. Hal-hal ini dianggap hanya mampu memenuhi keadilan prosedural sementara masyarakat merasa tidak terpenuhinya keadilan dan ketentraman alam kehidupan masyarakat, hanya terfokus pada pendekatan kuantitatif dimana hanya melihat seberapa banyak kasus yang berhasil dilaksanakan (menghukum dan memenjarakan) bagi para pelaku, dan dianggap memberi persoalan yang baru yaitu kelebihan kapasitas (over capacity) di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.

Secara doktrinal maupun yuridis, penegak hukum tidak diberikan ruang yang jelas dan tegas dalam menggunakan model alternatif dalam penyelesaian perkara pidana yang memungkinan adanya keseimbangan perlindungan semua pihak. Untuk itu, dalam rangka penerapan model alternatif dalam peradilan pidana diperlukan kecerdasan penegak hukum dalam menterjemahkan tujuan hukum sehingga hukum (undang-undang) akan menjadi bermakna. Namun, seiring perkembangan yang ada, muncul Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 mengenai Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Surat edaran tersebut mengatur bagaimana cara menerapkan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana di tingkat penyidikan atau penyelidikan di kepolisian. Surat edaran Kapolri tentang Restorative Justice inilah yang selanjutnya dijadikan landasan hukum dan pedoman bagi penyelidik dan penyidik Polri yang melaksanakan penyelidikan/penyidikan, termasuk sebagai jaminan perlindungan hukum serta pengawasan pengendalian, dalam penerapan prinsip Restorative Justice dalam konsep penyelidikan dan penyidikan tindak pidana demi mewujudkan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan keseragaman pemahaman dan penerapan Restorative Justice di lingkungan Polri.

Penerapan Restorative Justice pada perkara kecelakaan lalu lintas sudah dilakukan oleh Polri sejak lama. Berikut adalah tabel data perkara kecelakaan lalu lintas selama 3 tahun terakhir.
“selama 3 tahun terakhir perkara kecelakaan lalu lintas mengalami penurunan bahkan mencapai angka 54.999 saja dari Januari 2021 s/d Juli 2021 disebabkan karena adanya pandemi Covid-19 dengan diberlakukannya pembatasan-pembatasan di berbagai wilayah, sehingga masyarakat tidak melakukan kegiatan berlalu lintas atau menggunakan kendaraan bermotor.

Sedangkan penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas yang menggunakan Restorative Justice selama 3 tahun terakhir, dapat dilihat bahwa perkara kecelakaan lalu lintas yang menggunakan Restorative Justice selama 3 tahun terakhir mengalami pasang surut. Pada tahun 2019 perkara lalu lintas yang diselesaikan melalui Restorative Justice mencapai 5.158 perkara, sedangkan pada tahun 2020 perkara lalu lintas yang diselesaikan melalui Restorative Justice mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga mencapai 9.066. Pada tahun 2021 sampai dengan Juli, perkara lalu lintas yang diselesaikan melalui Restorative Justice baru mencapai 6.269 perkara.

Dalam menerapkan Restorative Justice, maka sistem hukum harus menjadi pertimbangan utama. Sudikno Mertokusomo (1991:102) “mengartikan sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Menurut Lawrence M. Friedman (2001:6), dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub sistem, yaitu sub sistem substansi hukum (legal substance), sub sistem struktur hukum (legal structure), dan subsistem budaya hukum (legal culture). Substansi hukum meliputi materi hukum yang diantaranya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Struktur hukum menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum, kewenangan lembaga dan personil (aparat penegak hukum). Sedangkan kultur hukum menyangkut perilaku (hukum) masyarakat.

Ketiga unsur itulah yang mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum di suatu masyarakat (negara), yang antara satu dengan lainnya saling bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum itu sendiri yakni keadilan”.

Persoalan pertama tentang substansi hukum pada penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum. Dalam teori Lawrence Meir Friedman (2001:7), “struktur hukum disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).

Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan ‘fiat justitia et pereat mundus’ meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan.

Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan”. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakan hukum tidak berjalan”.
Pada institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pengemban tugas penguatan keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas guna menjamin kepastian hukum dilaksanakan oleh Direktorat Penegakan Hukum (Ditgakkum) lalu lintas Polri.

Salah satu tugas dari Ditgakkum Korlantas Polri adalah melaksanakan penyelidikan dan penyidikan kecelakaan lalu lintas. Ditgakkum Korlantas Polri juga mempunyai fungsi salah satunya melakukan penetapan norma, standar, pedoman, kriteria dan prosedur penyelenggaraan penegakan hukum lalu lintas serta sasaran dan arah kebijakan pengembangan penegakan hukum lalu lintas.

Sehingga diperlukan strategi dengan memprioritaskan pada langkah-langkah strategi dalam melaksanakan substansi hukum dalam penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum sehingga stabilitas keamanan dalam negeri terpelihara, diantaranya Mengantisipasi intervensi dari pihak eksternal; Menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang limitative; serta Mendukung penetapan Restorative Justice dalam Prolegnas.
Persoalan kedua tentang struktur hukum pengemban tugas penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum.

Dalam teori Lawrence Meir Friedman (2001:7), “struktur hukum disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

Terdapat adagium yang menyatakan ‘fiat justitia et pereat mundus’ meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan”. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakan hukum tidak berjalan”.

Pada institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pengemban tugas penguatan keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas guna menjamin kepastian hukum dilaksanakan oleh Direktorat Penegakan Hukum (Ditgakkum) lalu lintas Polri. Salah satu tugas dari Ditgakkum Korlantas Polri adalah melaksanakan penyelidikan dan penyidikan kecelakaan lalu lintas. Ditgakkum Korlantas Polri juga mempunyai fungsi salah satunya melakukan penetapan norma, standar, pedoman, kriteria dan prosedur penyelenggaraan penegakan hukum lalu lintas serta sasaran dan arah kebijakan pengembangan penegakan hukum lalu lintas.

Berdasarkan Perpol Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Perpol Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat Markas Besar Polri, berikut adalah struktur organisasi Ditgakkum Korlantas Polri.

Sehingga diperlukan strategi dengan memprioritaskan pada langkah-langkah strategi terhadap pengemban tugas penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum, diantaranya Meningkatkan kompetensi personel Polri; Memberdayakan pengawasan eksternal terhadap penerapan Restorative Justice; Melaksanakan Diskresi Kepolisian; Memantapkan pelaksanaan Program Prioritas Kapolri; serta Memberdayakan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri
Persoalan ketiga tentang budaya hukum masyarakat terhadap penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum. Budaya Hukum atau Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah “sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum”.

Sehingga diperlukan strategi dengan memprioritaskan pada langkah-langkah strategi dalam membangun budaya hukum masyarakat untuk menunjang keberhasilan penguatan keadilan restoratif guna menjamin kepastian hukum, diantaranya Meningkatkan budaya hukum dan tingkat kesadaran hukum masyarakat; serta Memantapkan inovasi berbasis IT dan media sosialiasi.
Rekomendasi yang perlu diusulkan terkait dengan penguatan restorative justice guna menjamin kepastian hukum adalah dengan Mengajukan kepada Kapolri agar meningkatkan kerjasama dengan Menteri Hukum dan HAM untuk membuat Undang-Undang khusus terkait dengan penerapan restorative justice dikarenakan saat ini strategi pemberantasan tindak pidana di Indonesia memasuki abad modern ini dan adanya tuntutan masyarakat yang telah memasuki era society 5.0, harus mengalami perubahan paradigma yakni penanganan suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan hanya dengan cara-cara tradisional misalnya hanya dengan memasukan pelaku tindak pidana kedalam penjara melainkan menggunakan sebuah tahapan baru yaitu tahapan penguatan sistem pencegahan (preventive measures) yaitu dengan lebih menitik beratkan atau memprioritaskan kepada pemulihan dampak kejahatan dengan tetap memperhatikan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana yaitu efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan tindak pidana yang salah satunya dapat diwujudkan dengan konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

Selain itu, perlu direkomendasikan juga kepada Kapolri agar mendorong segera terbentuknya peraturan perundang-undangan terkait dengan penerapan restorative justice dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sehingga terdapat regulasi penerapan restorative justice sebagai pedoman bagi para penegak hukum.

(Red)